Oleh: Yulfi Alfikri Noer S.IP., M.APT
Tenaga Ahli Gubernur Bidang Sumber Daya Manusia
JurnalOne.com, JAMBI – Narsisme merupakan istilah yang dikenalkan oleh seorang psikologi bernama Sigmund Freud dalam esainya berjudul On Narcism- an introduction yang diambil dari tokoh mitos Yunani bernama Narkisos yaitu seorang pemuda yang memiliki kecintaan pada dirinya sendiri.
Narsisme adalah sikap atau kepribadian yang ditandai dengan fokus berlebihan pada diri sendiri, serta kebutuhan yang mendalam akan kekaguman dan perhatian dari orang lain dengan ciri sebagaimana yang disebutkan dalam Diagnostic and statistical manual of mental disorder yaitu merasa diri paling hebat, seringkali memiliki rasa iri dan menganggap orang iri kepada dirinya, memiliki fantasi kesuksesan dan kepintaran, sangat ingin dikagumi, kurang empati, angkuh dan sensitif terhadap kritik (tantrum dan baperan) dan mengacu pada konsep kesombongan, kepalsuan, dan mengidolakan diri sendiri.
Dalam konteks psikologis, narsisme mengacu pada pola perilaku di mana individu memiliki perasaan yang sangat tinggi tentang pentingnya diri mereka sendiri. Mereka sering merasa bahwa mereka lebih unggul atau istimewa dibandingkan orang lain, dan mereka mengharapkan pengakuan dan pujian yang berlebihan untuk merasa dihargai. Kebutuhan ini bisa menjadi sangat dominan dalam kehidupan mereka, sehingga mengarahkan mereka untuk mencari perhatian terus-menerus.
Dengan pemahaman ini tentang narsisme sebagai pola perilaku yang memerlukan pengakuan dan perhatian berlebihan, kita dapat melihat bagaimana fenomena ini berlanjut dalam konteks pengamat atau komentator. Narsisme dalam konteks pengamat atau komentator adalah fenomena yang bisa berdampak signifikan pada cara mereka menyampaikan informasi dan menganalisis situasi.
Pengamat narsisme sering kali mencari perhatian dan pengakuan dari audiens mereka, menggunakan pernyataan yang mencolok atau kontroversial untuk menarik perhatian. Mereka mungkin merasa pendapat mereka lebih berharga atau lebih benar dibandingkan pendapat orang lain, sehingga menunjukkan sikap merendahkan terhadap pandangan yang berbeda.
Ketika menganalisis situasi atau peristiwa, pengamat narsisme menunjukkan kurangnya empati terhadap pihak-pihak yang terlibat. Mereka sering mengabaikan atau meremehkan dampak emosional atau sosial dari peristiwa tersebut.
Posisi mereka sering digunakan untuk memanipulasi opini publik atau mengeksploitasi situasi demi keuntungan pribadi atau kelompok. Analisis atau komentar yang disampaikan oleh pengamat narsisme cenderung bias dan tidak objektif, lebih fokus pada mempromosikan diri sendiri atau pandangan mereka daripada memberikan analisis yang seimbang dan adil.
Dampak dari perilaku ini bisa sangat merugikan. Pernyataan kontroversial atau merendahkan dapat memperparah polarisasi dalam masyarakat, membagi audiens menjadi kubu yang mendukung atau menentang pengamat tersebut secara emosional.
Selain itu, kurangnya empati dan sikap superioritas dari pengamat narsisme dapat menurunkan kualitas diskusi atau debat publik, mengubahnya menjadi ajang saling menyerang dan merendahkan, alih-alih mengedepankan argumen rasional dan konstruktif.
Pengamat narsisme juga bisa memanipulasi opini publik untuk tujuan tertentu, seperti mempromosikan agenda pribadi, politik, kelompok atau komersial, dengan memutarbalikkan fakta atau menyebarkan informasi yang menyesatkan.
Misalnya, seorang pengamat dengan sifat narsisme (mungkin) sering muncul di media dengan pernyataan-pernyataan provokatif dan kontroversial, menyalahkan pihak tertentu dengan keras tanpa mempertimbangkan kompleksitas masalah atau dampak emosional dari pernyataan mereka terhadap orang-orang yang terlibat. Tujuan utamanya adalah menarik perhatian dan mendapatkan pengakuan sebagai pengamat PALUGADA (Apa Lu Mau, Gua Ada) atau memiliki otoritas dalam segala bidang tersebut.
Untuk menghadapi pengamat narsisme, audiens perlu kritis terhadap informasi dan analisis yang disampaikan. Memeriksa sumber informasi lain untuk mendapatkan perspektif yang lebih seimbang sangatlah penting.
Fokus pada argumen substansial dan menghindari terpengaruh oleh pernyataan yang bersifat emosional atau menyerang pribadi juga menjadi kunci dalam menghadapi mereka.
Mendorong diskusi yang konstruktif dan berbasis fakta dapat membantu mengurangi dampak negatif dari komentar yang bias atau provokatif. Dengan memahami dan mengidentifikasi bias narsisme dalam analisis atau komentar, audiens dapat lebih bijak dalam menyikapi informasi yang disampaikan, menjaga kualitas diskusi publik yang sehat dan konstruktif.
Namun, ada langkah-langkah tambahan yang bisa diambil untuk memperbaiki situasi ini. Media dan platform sosial memiliki tanggung jawab besar dalam menyaring konten yang disajikan kepada publik.
Mereka harus memastikan bahwa pengamat atau komentator yang diundang untuk berbicara memiliki integritas dan objektivitas yang tinggi, serta tidak hanya mencari sensasi atau popularitas semata. Pendidikan literasi media juga sangat penting agar masyarakat dapat mengenali dan memahami bias serta manipulasi yang mungkin terjadi dalam penyampaian informasi.
Sebagai individu, kita juga bisa berkontribusi dengan tidak memberikan panggung kepada pengamat narsisme. Ini bisa dilakukan dengan tidak menyebarluaskan konten mereka yang kontroversial atau provokatif, serta mengutamakan diskusi yang konstruktif dan berbasis fakta.
Dengan begitu, kita bisa mengurangi dampak negatif dari narsisme dalam analisis dan komentar publik, serta mendorong terciptanya lingkungan informasi yang lebih sehat dan bertanggung jawab.(*)
Sumber/Kominfo Provinsi Jambi